Oleh : Muh. Fitriady ( Research & Strategy/Ph.D Candidate Of Political Science OfUnibersiti Kebangsaan Malaysia)

Hasil survei elektabilitas (keterpilihan) sering dianggap sebagai “kaca pembesar” politik, memberi gambaran siapa kandidat yang unggul sebelum hari pemilihan. Tapi apakah survei selalu akurat? Tidak selalu. 

Pemilihan kepala daerah (pilkada) dan pemilihan presiden (pilpres) di Indonesia sering membuktikan bahwa real count (hitung aktual) di Tempat Pemungutan Suara (TPS) bisa jauh berbeda. Mengapa demikian?  Mari kita bahas beberapa faktor penyebabnya.

Metodologi Survei yang Bermasalah

Salah satu penyebab perbedaan adalah metodologi atau cara survei. Misalnya, pada Pilkada 2018, survei menunjukkan Djarot Saiful Hidayat unggul. Namun, Edy Rahmayadi keluar sebagai pemenang dengan selisi 15 % karena dukungannya kuat di pedesaan wilayah yang kurang terepresentasi dalam sampel survei. 

Teknik pengumpulan data juga penting. Survei atau online seringkali gagal menjangkau di daerah terpencil yang tidak memiliki akses internet atau tetap, sehingga mereka termasuk yang tidak terepresentasi dalam sampel .

Waktu Pelaksanaan yang Tidak Relevan  

Survei dilakukan sebelum pemilu, tetapi dinamika politik berubah sangat cepat. Pada Pilpres2014, survei awal beberapa lembaga riset nasional menunjukkan Jokowi diprediksi akan unggul jauh dari Prabowo. Namun, mendekati hari pemilihan, kampanye Prabowo yang gencar membuat selisih elektabilitas menyempit dengan hasil Jokowi – JK 53,15% dan Prabowo-Hatta 46,85%.

Tingkat Partisipasi di TPS

Survei hanya mencatat opini, tetapi yang penting adalah siapa yang datang ke TemlatPemungutan Suara (TPS). Pada Pilkada Sulawesi Selatan tahun 2018, survei mengunggulkan Ichsan Yasin Limpo di beberapa wilayah. 

Namun, partisipasi tinggi di daerah basis Nurdin Abdullah, seperti Bantaeng, Bulukumba,Jeneponto, Pare-Pare & Toraja memastikan kemenangannya di angka 42,92 %. Ini menunjukkan bahwa mobilisasi lebih penting daripada sekadar unggul dalam survei.  

Faktor Eksternal dan Kejutan Politik

Seringkali, isu dadakan mengubah arah dukungan pemilih. Pada Pilpres 2019, isu soal tenaga kerja asing dan hoaks yang tersebar di media sosial berhasil menggoyang pendukung swingvoters dan beralih ke Prabowo Subianto. Begitu pula di Pilkada Jawa Tengah 2018, serangan isu korupsi terhadap sempat memengaruhi persepsi pemilih meskipun mampu manang selisih 17 % dari rivalnya.

Distribusi Suara Menentukan

Survei cenderung memberikan gambaran umum, tetapi kemenangan ditentukan oleh distribusi suara. Pada Pilkada Jawa Timur 2018, survei memperkirakan Gus Ipul unggul tipisdari rivalnya. Namun, real count menunjukkan Khofifah Indar Parawansa menang banyak dengan selisih 1 juta suara karena dukungannya tersebar merata di seluruh wilayah di Jawa Timur.

Kesimpulan

Hasil survei hanyalah alat bantu untuk memprediksi dan memetakan basis serta potensi suara, bukan prediksi final. Kandidat dan timnya perlu fokus pada mobilisasi pemilih, merespons isu-isu krusial, dan menjaga kedekatan dengan masyarakat hingga hari . Pada akhirnya, pemenang ditentukan oleh suara di TPS, bukan angka survei sebelum pencoblosan.