Oleh: Muhammad Fitriady
ARCHY Research & Strategy / Ph.D Student of Social Political Science Of Universiti Kebangsaan Malaysia 2024)
Tuturan id, Jakarta – Menjelang pelantikan presiden dan wakil presiden baru pada 20 Oktober mendatang, perhatian publik Indonesia tertuju pada susunan kabinet Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka.
Konsep “kabinet gemuk,” di mana jumlah menteri yang akan diangkat lebih banyak dari biasanya, telah menjadi topik hangat dalam wacana politik saat ini. Pertanyaannya adalah, apakah strategi bagi-bagi jabatan ini akan menjadi jembatan menuju stabilitas pemerintahan atau justru menyulut kebangkitan masalah baru yang menghambat kinerja mereka?.
Prabowo dan Gibran tampaknya mengikuti jejak pendahulunya, Susilo Bambang Yudhoyono, yang dikenal dengan kabinet besar untuk merangkul beragam partai politik demi memastikan dukungan di parlemen. Meski strategi ini menjanjikan stabilitas, ada potensi nyata untuk menciptakan kemandekan politik.
Dalam konteks ini, kabinet gemuk tidak jarang diisi oleh politisi yang lebih peduli pada loyalitas partai ketimbang kualifikasi. Jika kabinet mereka terlalu fokus pada akomodasi politik, maka efisiensi dan efektivitas kerja bisa terancam—menciptakan sebuah pemerintahan yang lebih mirip “ajang bagi-bagi jabatan” ketimbang tim yang berdedikasi untuk mencapai tujuan nasional.
Namun, kabinet gemuk juga memiliki potensi untuk menjadi kekuatan pendorong dalam menghadapi tantangan politik yang ada. Dengan merangkul berbagai partai politik, Prabowo dan Gibran bisa memperkuat dukungan di parlemen, menciptakan fondasi yang lebih kokoh untuk menjalankan kebijakan–kebijakan penting.
Pengalaman SBY dalam mengakomodasi partai-partai koalisi menunjukkan bahwa, meskipun ada kritik terkait kompromi yang berlebihan, pendekatan ini berhasil menjaga stabilitas politik di tengah dinamika yang kompleks.
Selain itu, kabinet gemuk memungkinkan representasi yang lebih luas dari beragam segmen masyarakat, memberi suara bagi kelompok-kelompok yang sebelumnya kurang terwakili.