(Oleh: Muh. Fitriady Kandidat Doktor Ilmu Politik, Universiti Kebangsaan Malaysia 2024)

Sulawesi Tenggara (Sultra) telah lama dikenal sebagai wilayah yang kaya akan keberagaman. Sebagai pusat Nusantara, daerah ini dihuni berbagai etnis seperti Tolaki, Buton, Muna, Bugis, Makassar, Jawa, dan lainnya. 

Sejak era kerajaan, hubungan erat dengan Sulawesi Selatan () khususnya suku Bugis-Makassar berkontribusi besar pada pembangunan agraria, , dan sosial budaya di Sultra. Dalam sejarahnya, peran pendatang memperkuat dinamika ekonomi dan memperluas hingga keluar wilayah.  

Namun, harmoni ini kini terancam oleh pernyataan eksklusif mantan gubernur Sultra periode2008 -2017, Nur Alam pada orasi politik 23 Oktober 2024 di Villa Puncak, Desa Kahianga, Kecamatan Tomia Timur, Kabupaten Wakatobi.

Beliau menyatakan, “Jangan sampai tamu dijadikan pemimpin, karena dia bisa saja hanya datang untuk mengambil kekayaan kita dan pergi setelah itu.” Pernyataan ini mengesampingkan sejarah keberagaman Sultra dan berpotensi menggeser kompetisi politik dari adu gagasan menuju pembatasan berbasis asal usul.  

Politik Identitas: Ancaman bagi Demokrasi   

Demokrasi seharusnya menjunjung tinggi kesetaraan. Narasi “tamu” yang disampaikan Nur Alam menyingkirkan nilai-nilai demokrasi ini dan membuka jalan bagi politik identitas suku yang rawan konflik. Sebuah pilkada yang ideal mestinya menilai calon berdasarkan kapasitas, integritas, dan rekam jejak, bukan latar belakang etnis atau geografis.  

Pernyataan seperti ini menimbulkan risiko besar. Politik identitas dapat memecah belah , menciptakan ketidakpercayaan, dan mengikis solidaritas yang telah terjalin lama. Padahal, kontribusi pendatang, terutama suku Bugis-Makassar, dalam pembangunan Sultra tidak bisa diabaikan. Banyak dari mereka telah membangun sektor ekonomi, infrastruktur, hingga pendidikan yang menjadi tulang punggung kemajuan daerah.  

Jika narasi “kesukuan” terus digaungkan dalam memilih pemimpin Sultra, keharmonisan sosial yang selama ini menjadi kekuatan Sultra bisa terancam. Lebih dari itu, hubungan historis dan ekonomi antara Sultra dan Sulsel yang saling menguntungkan juga dapat terganggu.  

Sosial Politik Identitas  

Narasi seperti ini tidak hanya berpotensi memecah , tetapi juga menciptakan stigmatisasi. Suku pendatang, terutama Bugis-Makassar, dapat merasa tersingkirkan dan tidak dihargai meskipun kontribusi mereka nyata. Lebih buruk lagi, politik identitas sering kali memperuncing konflik horizontal, menciptakan ketegangan di .  

Dalam konteks hubungan antarwilayah, Sultra dan Sulsel memiliki keterkaitan yang sangat erat. Keduanya berbagi budaya, nilai-nilai ekonomi, dan sejarah panjang kolaborasi. Meninggalkan narasi harmoni ini demi politik eksklusivitas adalah langkah mundur yang hanya akan melemahkan Sultra di masa depan.  

Pilgub Sultra Harus Jadi Ajang Demokrasi Sehat   

Pilkada Sultra 2024 adalah kesempatan untuk memperkuat demokrasi, bukan melemahkannya. Masyarakat harus diajak untuk fokus pada kualitas kandidat: visi pembangunan, rekam jejak, dan kemampuan menyatukan masyarakat. Politik yang membatasi berdasarkan asal-usul justru akan menciptakan sekat dan mengerdilkan potensi daerah.  

Keberagaman adalah kekuatan Sultra. Pembangunan yang berkelanjutan membutuhkan kolaborasi dari semua pihak—baik lokal maupun pendatang. Menggaungkan perbedaan suku atau daerah hanya akan menciptakan ruang demokrasi yang sempit dan membatasi kontribusi individu berdasarkan identitas semata.  

Sejarah telah menunjukkan bahwa harmoni antar kelompok adalah kunci pembangunan. Kini, tantangan kita adalah mempertahankan narasi tersebut dalam konteks demokrasi yang sehat dan inklusif. Pilgub Sultra 2024 harus menjadi panggung adu visi dan kapasitas, bukan arena memperuncing identitas kesukuan. Jangan biarkan politik identitas menghancurkan apa yang telah dibangun selama ratusan tahun. Sultra membutuhkan pemimpin dengan visi besar, bukan sekat kecil berbasis suku.

(Kendari, 17 November 2024)