Sebenarnya, terjadi paradox dalam keputusan ini. Setiap waktu dan hari secara psikologis manusia membuat berbagai macam keputusan.

Proses kognitif yang terjadi mengarahkan manusia untuk membuat keputusan rasional terkait pilihannya. Pilihan yang rasional tentunya mendatangkan manfaat dan keuntungan bagi diri kita.

Manusia tentu saja menghindari pilihan yang tidak jelas mendatangkan manfaat atau keuntungan. Hal inilah yang menjadi paradox dalam keputusan memberikan di .

Blais, A., & Daoust, J. F. (2020) dalam tulisannya yang berjudul The motivation to vote: Explaining electoral participation dan diterbitkan oleh UBC Press mengungkapkan bahwa para pemilih ketika berpikir rasional membuat keputusan bisa saja menemukan bahwa satu yang diberikan tidak akan mendatangkan perubahan pada hasil pemilihan umum.

Satu tersebut tidak akan menentukan siapa yang jadi presiden atau anggota dewan yang terpilih. Proses kognitif dalam membuat keputusan ini justru bisa membuat orang , namun di lain pihak para pemilih juga harus mengedepankan pemikiran rasional ketika membuat keputusan memilih. Inilah yang disebut sebagai paradox golput.

Tim peneliti memandang bahwa masih dibutuhkan penelitian lebih lanjut mengenai hal ini. Sesuai hasil survei yang dilakukan oleh di Desember , masih terdapat 16,42% responden dari daftar DPT yang memastikan akan golput dan 2,03% yang kemungkinan akan memilih. Jumlahnya kurang lebih sama dengan golput di tahun 2019 karena terdapat di atas 18% yang belum memastikan akan ikut berpartisipasi dalam pemilihan umum.

Fenomena golput ini perlu menjadi perhatian mengingat generasi muda Indonesia memiliki porsi yang besar. Mereka bisa menjadi rasional, dan pikiran rasional mereka bisa membawa efek paradox golput jika tidak mendapatkan edukasi yang tepat.****