Sebenarnya, terjadi paradox dalam keputusan golput ini. Setiap waktu dan hari secara psikologis manusia membuat berbagai macam keputusan.

Oleh: Divisi & Psikologi ARCHI, Hilman Wirawan

Tuturan id – Sistem demokrasi membutuhkan pemungutan suara melalui rangkaian pemilihan umum yang diselenggarakan oleh lembaga terkait.

Di Indonesia, Komisi Pemilihan Umum (KPU) menjadi lembaga yang ditunjuk untuk tugas mengawal suara hingga menjadi sebuah keputusan yang mengamanahkan para aktor untuk memegang kekuasaan demi kepentingan .

Sayangnya, keputusan yang menyangkut hajat hidup orang banyak tersebut tidak sepenuhnya ditentukan oleh para pemilih yang memiliki hak suara dalam pemilihan.

Di antara mereka, terdapat sejumlah orang yang memutuskan untuk tidak memilih atau abstain dengan berbagai argumen. Mereka adalah para golongan putih (Golput) yang memiliki pilihan untuk tidak memilih.

Berdasarkan tahun 2019 pada penyelenggaraan Pemilihan Anggota Legislatif DPR. Terdapat 157,47 juta orang atau 81,69% dari total pemilih nasional yang mengikuti pemilihan di tempat pemungutan suara ().

Namun terdapat 35,29 juta orang atau sekira 18,31% dari total pemilih nasional yang memutuskan golput. Meski tingkat pemilih sudah mencapai lebih dari 80%, namun masih terdapat lebih 18% tidak berpartisipasi dalam demokrasi tersebut.

Indonesia masih cenderung baik dalam hal partisipasi dibandingkan beberapa negara maju lainnya. Sebagai contoh, jumlah pemilih di Indonesia di tahun 2019 masih jauh lebih tinggi dibandingkan negara maju seperti Amerika Serikat dengan partisipasi pemilih hanya 66,9%.

Fenomena abstain atau golput ini telah lama menjadi perhatian para praktisi dan ilmuan . Mereka memandang bahwa terdapat berbagai alasan pemilik hak suara memutuskan untuk tidak ikut dalam pemungutan suara.

Tim ahli ARCHI memandang bahwa masyarakat bisa saja bersikap apatis terhadap politik. Mereka tidak lagi peduli dengan urusan politik, dan bahkan tidak tertarik untuk tahu siapa yang harus dipilih dan apa resiko jika tidak memilih.