Oleh: Hillman Wirawan, S.Psi., MM., MA (IO Psych)
Tuturan id – Teori mengenai pemilih yang rasional sudah lama menjadi perbincangan para ahli perilaku politik. Ada beberapa ahli yang terus mengkaji mengenai teori ini dan berupaya menggunakan penjelasannya untuk memahami alasan seseorang menggunakan hak pilihnya.
Tulisan Aldrich, J. H. pada tahun 1993 yang berjudul ‘Rational choice and turnout’ di American journal of political science dan Geys, B. tahun 2006 dengan judul ‘Rational’theories of voter turnout: a review’ di Political Studies Review, menjadi dua di atara tulisan-tulisan yang banyak dirujuk tentang perilaku resional para pemilih.
Dalam tulisan-tulisan ini, pemilih dipandang sebagai individu yang rasional dalam menentukan pilihan. Mereka para pemilih mempertimbangkan keuntungan langsung yang bisa mereka rasakan dengan memberikan pilihan mereka ke salah satu kandidat atau partai.
Pertanyaan yang kemudian muncul mengenai ini yakni, apakah para pemilih itu betul-betul ‘selfish’ atau hanya mementingkan keuntungan diri mereka sendiri? Hal inilah yang mengundang banyak perdebatan di kalangan ahli karena beberapa di antara mereka berpandangan bahwa individu juga memiliki kecenderungan prososial dalam menentukan pilihan.
Prososial ini berarti mereka mempertimbangkan keuntungan orang lain dalam komunitasnya dan tidak semata mempertimbangkan kepentingan diri sendiri.
Ada persoalan mendasar dalam prinsip teori rational voters, menurut Roger Myerson (berdasarkan tulisan di tahun 1998. ‘Population Uncertainty and Poisson Games.’ International Journal of Game Theory 27: 375–392), jika para voters betul-betul rasional maka jumlah pemilih yang ikut serta akan sedikit karena dampak langsung ke mereka sangat kecil setelah memilih.
Artinya pilihan tersebut, satu suara, tidak mendatangkan dampak signifikan terhadap perubahan konstalasi politik atau kebijakan.
Gagasan mengenai Altruistic voters, atau pemilih dengan sifat altruistik, kemudian bermunculan untuk menjelaskan bahwa pemilih tidak selamanya rasional pada keuntungan diri sendiri.
Tulisan Jankowski tahun 2007 tentang Altruism and the decision to vote: Explaining and testing high voter turnout di jurnal Rationality and Society membuat banyak ahli berpikir kembali mengeni pemilih yang rasional dan selfish. Altruistic voters tidak hanya mementingkan keuntungan pribadi saat menentukan pilihan, tetapi mereka mempertimbangkan dampak dari keputusan mereka memilih terhadap keuntungan banyak orang termasuk keberlanjutan lingkungan yang terjaga, keadilan sosial, kebijakan publik yang berdampak positif bagi seluruh komunitas.
Jika hal ini diaplikasikan dalam kehidupan demokrasi di Indonesia, besar kemungkinan Altruistic Voters ini juga tumbuh subur. Mereka memberikan pilihan, tidak hanya karena ingin mendapatkan keuntungan pribadi, mengingat jumlah pemilih di Indonesia yang tembus lebih dua ratus juta. Secara rasional, meski mereka tidak memilih, tidak memberikan perubahan yang signifikan terhadap konstalasi politik dan keterpilihan calon tertentu.
Namun, dengan adanya pertimbangan sifat altruism ini, mereka bisa saja turut memberikan suara karena ingin memberikan manfaat bagi sesama bukan pada dirinya sendiri.
Tema–tema debat para kandidat cenderung mendorong sisi altruism pada individu, di mana para kandidat mengisyaratkan pesan bahwa pilihan para voters tersebut mendatangkan banyak manfaat kepada bangsa dan negara.
Sayangnya, terkadang keuntungan langsung dari suara yang diberikan secara rasional bisa menutupi sifat altruism seseorang. Seorang individu bisa saja mengenyampikan dorongan untuk memberi manfaat bagi banyak orang, jika dirinya mendapatkan manfaat langsung berupa uang tunai untuk memilih calon tertentu, yang tentu saja bukan praktik yang baik untuk kemajuan berdemokrasi.***