Tuturan id – Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik (LHKP) dan Majelis Hukum dan HAM (MHH) Pimpinan Pusat dalam rilisnya, Rabu (13/9/2023) menyatakan sikapnya terhadap kasus yang saat ini terjadi ke Masyarakatan Rempang, Provinsi Kepulauan .

LHKP dan MHH PP menyebut bahwa Proyek Rempang Eco City sangat bermasalah payung hukumnya. Ini baru disahkan pada tanggal 28 Agustus 2023 melalui Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2023.

LHKP dan MHH PP juga menilai pernyataan Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam), Mahfud MD yang menyatakan bahwa “tanah di Pulau Rempang itu belum pernah digarap” sangat keliru.

Faktanya, masyarakat di sana telah ada sejak tahun 1834. Menko Polhukam tampak jelas posisinya membela kepentingan investor swasta dan menutup mata pada kepentingan publik, termasuk sejarah sosial budaya masyarakat setempat yang telah lama dan hidup di pulau tersebut.

Melalui penggusuran paksa itu, negara mempertontonkan keberpihakan nyata kepada investor yang bernafsu menguasai Pulau Rempang untuk kepentingan bisnis mereka berupa Proyek Eco City seluas 17.000 hektare.

Karena itu, LHKP dan MHH Pimpinan Pusat berdiri bersama berbagai elemen gerakan masyarakat sipil di Indonesia yang sudah turut bersolidaritas menyatakan sikap:  

Pertama, meminta presiden dan Menteri Koordinator Bidang Perkonomian Republik Indonesia untuk mengevaluasi dan mencabut proyek Rempang Eco City sebagai PSN.

Kedua, Mendesak Kepala Kepolisian Republik Indonesia dan Kepolisian Daerah Kepulauan untuk segera membebaskan sejumlah warga yang sedang ditahan serta menarik seluruh aparat bersenjata dari lokasi konflik.

Ketiga, mendesak pemerintah segera menjamin dan memuliakan hak-hak masyarakat Pulau Rempang untuk hidup dan tinggal di tanah yang selama ini mereka tempati serta mengedepankan perspektif HAM, mendayagunakan dialog dengan -cara damai yang mengutakaman kelestarian lingkungan dan keadilan antar generasi.

Ketua LHKP Ridho Al-Hamdi dan Ketua MHH Trisno Raharjo mengatakan, penggusuran masyarakat Rempang Kepulauan adalah bukti pemerintah gagal laksanakan mandat konstitusi.

”Pemukiman dan warga tercatat telah ada sejak 1834, tempat tinggal dan pemukiman itulah yang saat ini mau digusur untuk proyek Rempang Eco-City,” kata Ridho Al Hamdi.

Menurut Ridhol Al Hamdi, proyek ini tidak pernah dikonsultasikan secara bermakna kepada masyarakat Rempang yang terdampak. Hampir setiap pembangunan Proyek Strategis Nasional  pemerintah selalu mobilisasi aparat secara berlebihan yang berhadapan dengan masyarakat.

Rempang Eco City sekarang menjadi Proyek Strategis Nasional (PSN) yang menimbulkan demonstrasi warga dan kekerasan aparat. Pengadaan tanahnya terindikasi kerap merampas tanah masyarakat yang tidak pernah diberikan hak atas tanah oleh pemerintah.

Atas dasar itu, LHKP dan Majelis Hukum dan HAM PP Muhammadiyah mengecam kebijakan publik pemerintah untuk menggusur masyarakat Pulau Rempang, Kepulauan demi kepentingan swasta.

Pola pelaksanaan kebijakan yang tanpa konsultasi dan menggunakan kekuatan kepolisian dan TNI secara berlebihan bahkan terlihat brutal, pada 7 September 2023, ini sangat memalukan.

”Pemerintah terlihat ambisius membangun proyek bisnis dengan cara mengusir masyarakat yang telah lama hidup di Pulau Rempang, jauh sebelum Indonesia didirikan,” tuturnya.**(bee)