Tuturan id – Perihal hasil pemilihan umum (pemilu) khususnya pilpres 2024, banyak partai politik (parpol) yang menyatakan bahwa partai mereka oposisi bila calon yang diusung kalah di pilpres 2024.
Perihal oposisi atau tidaknya suatu parpol terkait hasil pilpres, namun Indonesia membutuhkan yang namanya oposisi di pemerintahan.
Hal itupun disampaikan oleh pengamat politik FHISIP Universitas Terbuka Insan Praditya Anugrah.
Ia menyebutkan bagi siapapun yang terpilih jadi Presiden yang paling terpenting disitu adalah penguatan oposisi di parlemen untuk mengawasi pemerintah dari korupsi kekuasaan.
Pernyataan itu diungkapkan Insan menjelang adanya hasil pengumuman resmi dari KPU RI.
“Siapapun presiden yang dinyatakan menang oleh KPU, Indonesia butuh oposisi di parlemen yang kuat demi mencegah korupsi kekuasaan terjadi,” ujar Insan dalam keterangannya, Senin (18/3/2024).
Karena menurut Insan, selama ini setiap parpol yang kalah cenderung menghindari oposisi karena tidak ingin kehilangan akses terhadap kekuasaan dan kapital.
“Selama ini, terutama saya amati sejak SBY dilanjutkan Jokowi, sangat sedikit Partai Politik yang memutuskan untuk beroposisi dengan pemerintah dan bertindak mengawasi kekuasaan. Banyak parpol yang takut kehilangan akses kekuasaan dan kapital,” jelasnya.
Sehingga dalam konteks negara yang bersifat presidensial, memang dibutuhkan suatu partai pendukung pemerintah yang kuat agar pemerintah mudah melaksanakan kebijakan.
Akan tetapi, selama ini persentase oposisi terlalu sedikit yakni di bawah 40 persen sehingga kebijakan yang disetujui parlemen hampir seluruhnya memperjuangkan kepentingan pemerintah dapat dilaksanakan.
Maka hal itupun menimbulkan lebih sedikit aspirasi masyarakat terutama kelas Bawah didengar oleh dewan.
“Jika dalam sistem presidensial dibutuhkan koalisi pemerintah yang kuat, boleh saja, namun setidaknya 40-45 persen itu jadi oposisi yang mengawasi pemerintah. Selama ini oposisi lemah karena selalu di bawah 40 persen, dengan komposisi ini seolah parlemen memperjuangkan kepentingan pemerintah dibandingkan aspirasi masyarakat bawah,” pungkas pengajar ilmu politik dan pemerintahan di Universitas Terbuka itu.***