id – Pengamat politik Lembaga Riset Publik (LRP), Muhammad Al-Fatih menilai bila gandeng Yusril Ihza Mahendra di 2024, maka bisa diyakini timnya bakal Raup suara di Sumatera.

Selain itu, Al-Fatih mengatakan jika Ketua Umum Partai Bulan Bintang () Yusril Ihza Mahendra merupakan figur paling mumpuni untuk mendampingi bakal calon (bacapres) Koalisi Indonesia Maju () .

Al-Fatih menunjukkan banyaknya kemiripan Yusril dengan Sutan Sjahrir, Perdana pertama RI yang juga berasal dari tanah Sumatera.

“Keduanya sama-sama cerdas dan intelektual. Sjahrir adalah Ketua Partai Sosialis Indonesia (PSI), sedang Yusril Ketua Umum . Kapasitas dan kemampuan pribadi kedua tokoh ini jauh lebih besar dibandingkan partai yang dipimpinnya,” ucapnya, ditulis Jumat (6/10/2023).

Al-Fatih menunjuk sosoknya yang mewakili daerah-daerah luar Jawa menjadi kekuatan Yusril yang lain. Apalagi dalam kondisi terpinggirkannya kaum Melayu dalam kasus Rempang yang salah urus, mencuatnya Yusril adalah pengakuan terhadap kekuatan puak Melayu.

“Ia orang Melayu campuran Minangkabau yang lahir dan dibesarkan di Belitung. Ini penting sebagai simbol perekat persatuan dan kesatuan bangsa kita yang majemuk,” terangnya.

Apalagi dengan fakta secara kultural sosok Prabowo adalah seorang Jawa, kombinasi Prabowo-Yusril bisa diibaratkan Dwi-Tunggal Soekarno-Hatta: Jawa dan luar Jawa.

Dalam pandangan pengajar Pasca-Sarjana Ilmu Politik Nasional (Unas), Syafrizal Rambe menegaskan, berdasarkan catatan sejarah menunjukkan Yusril sangat piawai menata negara, membangun sistem kuat, dan menata birokrasi yang saat ini cenderung harus mengalami perbaikan serius.

Lebih-lebih lagi, sosok Yusril juga punya serenceng kelebihan, yakni ia mewakili dan mampu menjadi ikon wakil Sumatera dan kalangan muslim modernis.

“Jadi, kalau tidak mau kita terjebak seolah meniadakan peran luar Jawa dalam pendirian dan Pembangunan negeri ini, Prof Yusril adalah figur yang paling kuat mewakili kekosongan representasi itu,” kata dia.

Syafrizal cenderung melihat saat ini seolah ada penguatan dalam wacana ‘Jawa Sentris', yang menurutnya sebenarnya merupakan hal sensitif dalam pembangunan nasionalisme bangsa.***