Tuturan id – Pakar Hukum Tata Negara dan Konstitusi Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar, Fahri Bachmid menyampaikan pandangannya mengenai sosok Yusril Ihza Mahendra yang dianggap jadi sosok kuat untuk dampingi bakal calon presiden (bacapres) Prabowo Subianto dipilpres 2024.
Fahri meminta Prabowo Subianto untuk memilih Yusril Ihza Mahendra jadi pendampingnya di pilpres 2024.
Pasalnya z Fahri berpandangan jika Yusri Ihza Mahendra dapat mendongkrak elektabilitas, di mana kelembagaan wakil presiden (wapres) bukan sebagai ‘ban serep'.
Menurut Fahri, wapres memiliki peran aktual dalam menata dan mengelola negara secara benar sesuai sumpah jabatan, yakni memenuhi kewajiban Wakil Presiden Republik Indonesia dengan baik dan adil, memegang teguh UUD 1945, menjalankan segala undang-undang dan peraturannya, serta berbakti kepada nusa dan bangsa.
Bagi Fahri, sosok Yusril Ihza Mahendra memenuhi kriteria itu. Yusril dinilai sebagai teknokrat yang dapat memainkan peran konstitusional sebagai wakil presiden dengan baik.
Dirinya yakin, Yusril akan fokus mengurus dan menata negara, membangun sistem yang kuat, menata birokrasi serta membenahi mekanisme dan sistem ketatanegaraan yang ada. Terlebih, produk amandemen UUD 1945 masih memiliki sejumlah persoalan yang membutuhkan kajian, pendalaman serta perbaikan melalui upaya konstitusional dengan cara amandemen kelima UUD 1945.
“Nah, persoalan ini adalah pekerjaan serius yang membutuhkan konsentrasi, kehati-hatian yang tinggi, serta upaya konsolidasi sistemik yang melibatkan lembaga-lembaga negara terkait untuk mengerjakannya,” ujar Fahri dalam Diskusi Publik Relawan Yakin Indonesia Maju pada Rabu (4/10).
Hal krusial tersebut, lanjutnya, membutuhkan peran seorang wapres yang mumpuni, yakni sosok cendekiawan andal yang menguasai teknis hukum tata negara seperti pada figur Yusril.
Fahri menambahkan, kriteria yang harus dipakai sebagai patokan penentuan cawapres adalah kebutuhan negara saat ini, yakni figur yang dapat memainkan peran-peran konstruktif dalam menata negara, agar konsolidasi demokrasi tetap berada pada rel yang benar.
“Bukan kebutuhan elektoral atau elektoralisme semata yang hanya berorientasi pada kepentingan menang-kalah dalam pemilu,” kata Fahri.
Selanjutnya, Fahri, menjelaskan bila tugas konstitusional negara akan semakin kompleks, lebih berat dan menantang. Dia menilai, prinsip meritokrasi menjadi keniscayaan dalam memilih sosok cawapres yang teknokratis, intelektual, serta menguasai aspek ketatanegaraan dan kepemerintahan.
Secara konvensional, kata Fahri, praktik pengisian jabatan wapres menggunakan konsep meritokrasi pernah terjadi dalam sejarah Indonesia, yakni melalui kehadiran dwitunggal Soekarno-Hatta, di mana Soekarno berperan sebagai ‘solidarity maker' di awal kemerdekaan dan Hatta sebagai administrator negara.
“Prinsip meritokrasi dalam menentukan wakil presiden membuka kesempatan yang setara bagi setiap figur potensial yang cakap dan teknokratis untuk menyelenggarakan pemerintahan secara benar demi mencapai tujuan-tujuan negara,” ujarnya.
Sementara secara konstitusional, UUD 1945 melalui Pasal 6A ayat 1 menyatakan bahwa jabatan presiden dan wakil presiden adalah satu kesatuan pasangan presiden dan wakil presiden.
“Keduanya adalah dwitunggal atau satu kesatuan lembaga kepresidenan. Namun, secara doktriner, meski merupakan satu kesatuan institusi kepresidenan, presiden dan wakil presiden adalah lingkungan jabatan konstitusional yang terpisah,” kata Fahri.
Artinya, di satu sisi presiden dan wakilnya merupakan satu kesatuan kelembagaan. Di sisi lain, keduanya adalah dua organ konstitusional yang berbeda, sehingga harus dibedakan satu sama lain.
Fahri menegaskan, tugas wapres membantu presiden berbeda dengan fungsi para menteri yang menurut UUD 1945 adalah pembantu presiden.
“Secara konseptual, bantuan wakil presiden kedudukan hukumnya tentu lebih tinggi dan komprehensif dibanding dengan para menteri negara, bantuan wakil presiden adalah sebuah ‘intention constitution,” katanya.
Berdasarkan kaidah konstitusional, wakil presiden bertindak mewakili presiden apabila presiden berhalangan melaksanakan kewajiban hukum dalam bentuk kegiatan tertentu atau dalam lingkungan kewajiban konstitusional presiden.
Selain itu, wapres juga mewakili presiden apabila presiden tak bisa memenuhi kewajiban konstitusional karena alasan yang dapat dibenarkan menurut hukum. Wapres pun bertindak sebagai pendamping presiden saat melakukan kewajibannya, juga dapat bertindak sebagai pejabat publik.
Secara ketatanegaraan, eksistensi hukum wakil presiden terhadap presiden dapat memiliki sejumlah kemungkinan, antara lain sebagai wakil presiden selaku kepala pemerintahan, sebagai pengganti presiden, sebagai pembantu presiden, sebagai pendamping presiden, maupun sebagai wakil presiden yang bersifat mandiri.
Fahri menekankan, kedudukan wapres adalah konsekuensi dari “intensi konstitusional” meski perannya “memberi bantuan kepada presiden dalam menjalankan kewajiban konstitusional”.
Hal tersebut dapat dibaca pada dua keadaan hukum, yaitu membantu presiden dalam melakukan kewajiban, dan menggantikan presiden sampai habis waktunya jika presiden meninggal dunia, berhenti, atau tidak dapat melakukan kewajiban dalam masa jabatan.
Fahri mengingatkan, eksistensi presiden dan wakil presiden sebagai lembaga negara dalam sistem pemerintahan presidensial di Indonesia mempunyai kedudukan serta peran yang sangat vital dan strategis.***(Nov)