Tuturan id, Universitas Hasanuddin (Unhas) Makassar, Lukman Irwan menanggapi fenomena gerakan masyarakat di balik kotak kosong di Pilkada

Menurutnya, banyak masyarakat yang menganggap kotak kosong sebagai pilihan protes terhadap calon pemimpin yang tidak memenuhi harapan. 

Namun, realitasnya kotak kosong tidak memberikan nyata bagi masyarakat, malah bisa menimbulkan kondisi ketidakpastian yang berpotensi menghambat keberlanjutan pembangunan dan pelayanan kepada masyarakat. 

“Ketika masyarakat memilih kotak kosong, ada anggapan bahwa ketiadaan kandidat bisa memicu perubahan. Tapi, tanpa pemimpin yang jelas wujudnya juga justru akan memunculkan suasana ketidakpastian,” katanya, Kamis (31/10/). 

Tanpa calon yang memiliki visi dan rencana yang jelas, dia, masyarakat justru terjebak dalam lingkaran ketidakpastian yang tidak ada ujungnya dan tidak akan memberikan harapan perbaikan. 

“Sebenarnya, memilih kotak kosong tidak menciptakan ruang keberlanjutan yang bisa membawa perubahan bagi pembangunan daerah dan kesejahteraan masyarakat. Sebaliknya, pilihan ini hanya akan memunculkan suasana yang tidak stabil bagi penyelenggaraan pemerintahan,” sambungnya. 

Selain itu, dia, jika kotak kosong menang, Kabupaten akan dipimpin oleh PJ Bupati yang akan berganti-ganti setiap saat hingga pilkada berikutnya. 

Hal itu, menurutnya, dapat menggangu jalannya pemerintahan dan pembangunan di . Dengan berganti-gantinya pemimpin dapat memberikan dampak buruk bagi tata Kelola Pemerintahan karena kekosongan kepemimpinan ini dapat menimbulkan ketidakstabilan dalam organisasi pemerintahan, terutama dalam hal kepastian kebijakan dan program.

“Tentunya kebijakan strategis yang penting bagi masyarakat mungkin tidak dapat berjalan dengan optimal, sehingga menimbulkan ketidakpastian dalam implementasi kebijakan' paparnya.

“Ketidak pastian dalam Pemerintahan juga dapat menyebabkan mitra eksternal, seperti lembaga swasta, pemerintah pusat, atau organisasi Masyarakat sipil, merasa ragu dalam menjalin kerja sama yang erat dengan pemerintahan daerah, karena dianggap tidak memiliki legitimasi yang kuat.' Imbuhnya.

Juga dijelaskan bahwa kepala daerah adalah pemegang otoritas utama dalam penyusunan dan pelaksanaan anggaran. Tanpa kepala daerah definitif, proses penyusunan dan alokasi anggaran cenderung menjadi lebih lambat dan tidak efisien, yang tentunya akan merugikan masyarakat itu sendiri.

Menurutnya, saatnyalah masyarakat Maros beranjak dari ketidakpastian dan mengambil langkah aktif dalam menentukan masa depan mereka. 

“Untuk menciptakan perubahan yang diharapkan, diperlukan keberanian untuk menilai secara obyektif siapa yang memiliki komitmen dan solusi nyata, bukan hanya mengandalkan penilaian subyektif yang bisa menciptakan situasi ketidakpastian,” paparnya.

Terakhir, dia, terkait potensi adanya pengulangan Pilkada di Kabupaten Maros, menurutnya hanya akan membebani daerah dari sisi anggaran. 

Pengulangan pilkada berarti adanya refocusing anggaran di APBD daerah lagi yang dapat menghambat keberlanjutan pembangunan dan pelayanan kepada masyarakat. 

“Pilkada ulang tentunya akan membebani anggaran daerah dan mengalihkan sumber daya anggaran dari program prioritas yang bermanfaat langsung bagi masyarakat,” pungkasnya.***