Oleh: Muh. Fitriady |

Direktur ARCHY Research & Strategy

id – Tom Lembong, mantan Indonesia, saat ini menghadapi sorotan tajam akibat statusnya sebagai tersangka dalam terkait impor gula pada 2015-2016. Kasus ini melibatkan dugaan kerugian negara yang cukup besar, mencapai Rp400 miliar, akibat perizinan impor 105 ribu ton gula yang diduga tidak sesuai aturan. 

Kasus ini juga menyeret sejumlah pihak, termasuk seorang direktur di sebuah BUMN, yang diduga bersama Lembong menyalahgunakan wewenang dalam penetapan kebijakan harga dan stok gula nasional yang merugikan keuangan negara. 

Setelah beberapa tahun berlalu, barulah pada tahun kasus ini diangkat kembali oleh Kejaksaan Agung, yang menetapkan Lembong sebagai tersangka berdasarkan dugaan penyalahgunaan kebijakan perizinan impor.

Menariknya, status tersangka Lembong muncul beriringan dengan kiprahnya dalam politik praktis, di mana ia bergabung dalam tim kampanye Anies Baswedan untuk pencapresan 2024. Perannya sebagai tokoh strategis yang dekat dengan Anies – seorang tokoh oposisi besar di Pilpres 2024 – memberikan dimensi politik baru pada kasus ini.

Bagi Anies, Lembong bukan hanya sekadar rekan kerja, tetapi juga sahabat yang dikenal sebagai sosok “lurus dan bersih dari tipu muslihat.” Anies bahkan menyatakan dukungannya secara terbuka melalui pada Rabu, 10 Oktober 2024, menyebut bahwa dirinya “masih percaya pada Tom” dan berharap kasus ini akan diproses sesuai hukum, bukan didasarkan pada kekuasaan. 

Pernyataan ini mencerminkan kepercayaan penuh dari pihak Anies pada integritas Lembong, serta keyakinan bahwa status tersangka ini bukan sekadar biasa.

Namun, di tengah perseteruan politik yang semakin memanas, penetapan tersangka terhadap tokoh seperti Lembong, yang memiliki keterkaitan erat dengan oposisi, mengundang spekulasi publik. Dalam sejarah politik Indonesia, instrumen hukum terhadap pihak-pihak yang dianggap sebagai lawan politik bukanlah fenomena baru. Pola ini mengingatkan pada sejumlah kasus dari masa Orde Lama, Orde Baru, hingga era Reformasi, di mana para tokoh yang dianggap tidak sejalan dengan pemerintah kerap terjerat kasus hukum di momen-momen politik krusial. Dengan latar belakang ini, wajar jika banyak yang bertanya-tanya: apakah kasus Lembong ini benar-benar murni upaya pemberantasan korupsi, atau ada motif politik yang bertujuan untuk memperlemah tokoh yang mendukung oposisi?

Pemerintahan baru di bawah kepemimpinan dihadapkan pada tantangan besar dalam membuktikan netralitasnya dalam menegakkan hukum. Jika kasus Lembong dipandang sebagai alat politik, kepercayaan publik terhadap integritas pemerintah dalam menegakkan hukum bisa terganggu. Sebaliknya, pemerintah memiliki kesempatan besar untuk menunjukkan komitmen nyata terhadap pemberantasan korupsi secara profesional dan independen, tanpa pengaruh politik. Bagi masyarakat luas, kasus ini bukan sekadar tentang seorang Tom Lembong, tetapi tentang penegasan atas prinsip-prinsip keadilan dan transparansi dalam proses hukum di Indonesia.

Dalam suasana politik pasca-pergantian kekuasaan ini, muncul pertanyaan penting: apakah Tom Lembong benar-benar didasarkan pada bukti hukum yang kuat, ataukah ini merupakan bagian dari strategi pemerintahan Prabowo-Gibran untuk memperlemah pengaruh lawan politik yang berafiliasi dengan Anies Baswedan?.***