Opini terhadap Politik Agama dalam Pilkada:
Keterlibatan agama dalam pilkada di Indonesia merupakan fenomena yang kompleks. Di satu sisi, agama dapat memainkan peran positif dalam mengarahkan pemilih untuk memilih pemimpin yang berintegritas dan bermoral. Namun, di sisi lain, jika agama terlalu dipolitisasi, hal ini dapat menyebabkan polarisasi masyarakat dan meminggirkan kelompok minoritas.
Pemanfaatan agama dalam pilkada juga menunjukkan bahwa demokrasi Indonesia masih dipengaruhi oleh faktor non-rasional, seperti simbol dan identitas keagamaan, selain program kebijakan.
Agar demokrasi tetap sehat, penting bagi aktor politik dan masyarakat sipil untuk menempatkan agama sebagai inspirasi moral, bukan alat mobilisasi atau eksklusivitas politik. KPU dan Bawaslu juga perlu tegas dalam menindak penggunaan isu agama yang mengarah pada diskriminasi dan ujaran kebencian.
Fakta kasus pilkada politik agama yg pernah terjadi di Indonesia :
- Pilkada DKI Jakarta 2017: Polarisasi karena Isu Agama
Pilkada DKI Jakarta 2017 adalah salah satu contoh paling terkenal tentang bagaimana agama memainkan peran krusial dalam pemilihan. Pada saat itu, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), gubernur petahana yang beragama Kristen dan berasal dari etnis Tionghoa, menghadapi pertarungan sengit dengan Anies Baswedan, kandidat yang didukung oleh partai dan organisasi berbasis Islam.
Dinamika Politik:
Dalam kampanye, muncul kontroversi terkait pidato Ahok di Kepulauan Seribu yang dianggap menyinggung Surat Al-Maidah 51. Kelompok-kelompok Islam konservatif memobilisasi massa dalam aksi besar-besaran (Aksi 411 dan 212) menuntut Ahok diproses hukum atas dugaan penistaan agama.
Implikasi Politik Agama:
Kasus ini memperlihatkan bagaimana isu agama menjadi instrumen mobilisasi massa dan sumber polarisasi politik. Narasi agama digunakan untuk meragukan legitimasi Ahok sebagai pemimpin, dengan sebagian kelompok mempromosikan gagasan bahwa pemimpin ideal harus berasal dari kalangan Muslim.
Akibat Sosial dan Demokrasi:
Pilkada ini menyebabkan polarisasi tajam di masyarakat, bukan hanya di Jakarta, tetapi juga di tingkat nasional. Kontestasi yang awalnya tentang program kerja berubah menjadi perdebatan mengenai identitas agama. Meskipun Anies Baswedan akhirnya menang, kasus ini memunculkan diskusi serius tentang dampak buruk politisasi agama dan memperkuat praktik politik identitas.
- Pilkada Jawa Barat 2018: Politik Identitas dan Pesan Religius
Dalam Pilkada Jawa Barat 2018, Ridwan Kamil berhadapan dengan beberapa kandidat lain yang juga memanfaatkan narasi agama untuk mendapatkan dukungan, seperti Sudrajat-Syaikhu yang didukung oleh PKS dan Gerindra.
Dinamika Kampanye:
Kampanye Sudrajat-Syaikhu sering menonjolkan pesan-pesan religius dan mengangkat slogan yang mengaitkan pilihan politik dengan keberpihakan pada agama tertentu. Salah satu momen kontroversial terjadi saat mereka menyatakan bahwa jika menang, mereka akan mengganti presiden pada tahun 2019, sebuah pesan politik yang dikaitkan dengan narasi kelompok Islam tertentu.
Implikasi bagi Politik Lokal:
Meskipun Ridwan Kamil akhirnya menang, kampanye lawan memperlihatkan bahwa identitas dan simbol agama masih menjadi alat yang efektif untuk memobilisasi pemilih di wilayah dengan mayoritas Muslim. Kasus ini menunjukkan bahwa politik agama tetap menjadi faktor penting, terutama di daerah-daerah konservatif seperti Jawa Barat.
- Pilkada Sumatera Utara 2018: Mobilisasi Agama dan Diskriminasi Minoritas
Di Pilkada Sumatera Utara 2018, pasangan Edy Rahmayadi-Musa Rajekshah (Eramas) berhadapan dengan Djarot Saiful Hidayat-Sihar Sitorus. Salah satu isu krusial dalam kontestasi ini adalah mobilisasi identitas agama dan etnis, di mana pasangan Eramas menekankan pentingnya kepemimpinan Muslim di daerah tersebut.
Dinamika Kampanye:
Djarot Saiful Hidayat, yang pernah menjadi gubernur DKI Jakarta, menerima perlawanan keras karena dianggap kurang mewakili aspirasi mayoritas Muslim dan karena Sihar Sitorus adalah seorang Kristen. Isu keagamaan kerap digunakan untuk mengarahkan pemilih agar mendukung pasangan Muslim sebagai bentuk “perlindungan” atas identitas mayoritas di Sumatera Utara.
Dampak Sosial:
Kampanye berbasis agama di Sumatera Utara meminggirkan kandidat dari minoritas agama dan menunjukkan bahwa identitas agama masih berpengaruh kuat dalam menentukan pilihan pemilih. Meskipun isu program kerja juga dibahas, narasi agama menjadi dominan dalam menentukan hasil akhir pilkada.