Oleh : Taqwa Bahar
(Mahasiswa Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin / Wakil Ketua Bid. Hukum dan HAM Pemuda ICMI Sulsel)

Tuturan id – Beberapa waktu yang lalu hampir semua media menjadikan headline tentang berita Firli Bahuri ditetapkan sebagai tersangka oleh penyidik Metro Jaya.

Berita yang menghebohkan itu sempat memunculkan stigma buruk terhadap KPK dimana Firli yang menjabat sebagai Ketua KPK telah melakukan perbuatan melanggar hukum melakukan pemerasan terhadap pihak yang berperkara sebagaimana yang diberitakan oleh berbagai media.

KPK selama ini telah menjadi ujung tombak pemberantasan korupsi di Indonesia, dengan menerapkan beberapa strategi yang dikenal dengan istilah trisula pemberantasan korupsi. Setelah kasus Firli mencuat kepermukaan, KPK kemudian mulai kehilangan kepercayaan publik dan mayoritas dari masyarakat memberi penilaian negatif terhadap KPK. Meski demikian, lembaga anti rasuah ini terus menjalankan tugasnya dalam memberantas korupsi.

Kasus yang dihadapi Firli ini terbilang pertama kali terjadi sepanjang berdirinya KPK, dan merupakan satu-satunya unsur pimpinan yang terjerat kasus dengan dikenakan 3 Pasal Tipikor sekaligus.

Atas perbuatannya itu, Firli dijerat dengan pasal yakni Pasal 12e, atau Pasal 12B, atau Pasal 11 UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 jo Pasal 65 KUHP.

Kasus korupsi dan yang melibatkan Firli ini dikategorikan sebagai bagian dari penyalahgunaan jabatannya sebagai Ketua Komisi pemberantasan korupsi, dimana dengan jabatan yang dimiliki dirinya dengan sengaja melakukan kejahatan dengan cara memeras pihak yang berperkara di KPK.

Jika dicermati secara seksama, apa yang dilakukan oleh Firli adalah perbuatan yang sangat bertentangan dengan semangat pemberantasan korupsi yang selama ini digalakkan oleh KPK. Dan Firli telah meruntuhkan semangat itu dan opini publik secara massif mulai tidak percaya dengan integritas KPK, meski oknum yang melakukan namun berimbas terhadap prestasi yang telah ditorehkan oleh KPK sebagai Lembaga yang mendapatkan kepercayaan tertinggi dalam hal pemberantasan korupsi di Indonesia.

Kasus Firli ini sebagai kado akhir tahun bagi penegakan hukum di Indonesia dan ini mempertegas bahwa komitmen pemberantasan korupsi dimasa kepemimpinan Presiden berjalan tanpa pandang bulu, siapa pun yang terlibat korupsi harus ditindak sesuai dengan hukum yang berlaku.

Pemberantasan korupsi yang telah berjalan baik selama ini didukung sepenuhnya oleh . Dengan dibentuknya Undang-undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Komisi pemberantasan korupsi maka tugas dan wewenang serta tanggung jawab diberikan sepenuhnya kepada KPK untuk melakukan penindakan terhadap kasus tindak pidana korupsi.

Selain penindakan, KPK juga melakukan langkah pencegahan dengan cara melakukan sosialisasi dan melakukan edukasi kepada masyarakat terkait bahaya Korupsi.

Sementara untuk strategi penindakan, KPK mengefektifkan cara Operasi Tangkap Tangan yang cukup familiar disebut dengan istilah . Sudah banyak pejabat negara yang terjaring Operasi Tangkap Tangan (), meski demikian masih ada pihak yang menilai bahwa yang dilakukan oleh KPK secara yuridis bertentangan dengan KUHAP.