Dalam pemerintahan SBY, pertarungan kepentingan sering kali merugikan agenda nasional dan menjauhkan rakyat dari manfaat yang seharusnya mereka peroleh. Meskipun Jokowi mampu menjaga disiplin politik di dalam kabinetnya, Prabowo-Gibran harus berhadapan dengan tantangan berat—mengelola ego politik yang menguasai setiap yang terlibat.

Namun, bagi-bagi ini juga dapat menciptakan peluang untuk inovasi dalam publik. Dengan mendiversifikasi pemimpin di kementerian-kementerian, diharapkan dapat lahir ide-ide segar dan pendekatan baru yang lebih responsif terhadap kebutuhan masyarakat.

Penunjukan menteri yang berasal dari latar belakang yang beragam, termasuk kalangan profesional dan teknokrat, dapat membantu mengembangkan yang lebih terhadap isu-isu yang kompleks, seperti ketahanan pangan, pendidikan, dan .

Dalam konteks ini, kita juga harus mempertimbangkan implikasi jangka panjang dari bagi-bagi ini. Apakah kabinet Prabowo-Gibran akan menciptakan pemerintahan yang responsif terhadap kebutuhan rakyat, atau malah menjadikannya mesin politik yang hanya menguntungkan segelintir elit? Kita semua tahu bahwa kesuksesan tidak hanya ditentukan oleh jumlah menteri, tetapi juga oleh kualitas mereka. Jika menteri-menteri yang diangkat tidak memiliki kompetensi dan integritas yang memadai, maka seluruh strategi ini berpotensi gagal.

Secara keseluruhan, kabinet gemuk Prabowo-Gibran bisa jadi membawa stabilitas politik, namun tantangan terkait biaya operasional, risiko tumpang tindih tugas, dan konflik kepentingan antarpartai harus diatasi secara cermat. Jika tidak, kita mungkin akan menyaksikan sebuah kabinet yang lebih fokus pada pembagian kekuasaan ketimbang menciptakan nyata bagi rakyat Indonesia. 

Dalam politik, stabilitas tidak harus mengorbankan efektivitas. Prabowo dan Gibran perlu belajar dari pengalaman sebelumnya, untuk benar-benar melayani rakyat, mereka harus mengutamakan kualitas atas kuantitas.***