Dalam pemerintahan Joko Widodo, kita juga menyaksikan perluasan kabinet yang mencakup berbagai partai. Meskipun ini menciptakan stabilitas politik yang relatif lebih baik, risiko konflik kepentingan di dalam kabinet tetap ada.
Politisi yang menduduki posisi strategis sering kali lebih fokus pada kepentingan jangka pendek partai mereka dibandingkan pada agenda nasional. Apakah Prabowo dan Gibran akan terjebak dalam pola yang sama?.
Kelemahan utama kabinet gemuk adalah pemborosan anggaran. Semakin banyak menteri, semakin besar biaya yang diperlukan untuk gaji dan fasilitas mereka. Di tengah situasi ekonomi yang belum stabil pasca-pandemi, beban anggaran ini akan menjadi sorotan publik yang tajam. Kritik terhadap kabinet besar era SBY berfokus pada pemborosan dan efisiensi yang rendah.
Jokowi, meski menghadapi tantangan serupa, berusaha menjaga efisiensi dengan mengurangi jumlah kementerian dan fokus pada tugas-tugas yang jelas. Pertanyaannya, apakah Prabowo-Gibran akan mengikuti langkah ini atau justru memperburuk situasi?.
Satu hal yang perlu dikhawatirkan adalah potensi tumpang tindih wewenang antar kementerian. Sejarah telah menunjukkan bahwa beberapa kementerian dalam pemerintahan Jokowi mengalami masalah koordinasi yang serius, mengakibatkan pengambilan keputusan yang lambat. Jika Prabowo-Gibran tidak memiliki struktur yang jelas untuk mengelola interaksi antar kementerian, kita mungkin akan melihat pengulangan masalah yang sama.
Namun, jika dikelola dengan baik, kabinet yang besar dapat meningkatkan efisiensi dengan membagi tugas yang lebih spesifik, memfasilitasi fokus yang lebih dalam pada proyek-proyek strategis.
Lebih jauh lagi, kabinet besar dapat berfungsi sebagai arena pertarungan kepentingan politik. Semakin banyak partai yang terlibat, semakin besar pula risiko kabinet berfokus pada kompromi politik yang tidak produktif, yang justru mengabaikan agenda pembangunan yang nyata.