Kedua, masalah integritas dalam pelaporan hasil. Masyarakat yang pernah menyaksikan kecurangan dalam pelaporan survei kemungkinan besar akan terus mencurigai hasil survei yang dipublish oleh lembaga manapun. Dugaan adanya manipulasi data yang menguntungkan pihak tertentu memang bisa saja terjadi dan ini merusak kredibilitas dan keilmiahan pelaksanaan survei politik. Komitmen dari penyelenggara survei sangat dibutuhkan karena kepercayaan publik yang rusak terhadap studi politik akan sangat sulit direstorasi kembali.
Ketiga, perubahan sosial-politik yang cepat. Perubahan yang terjadi di tingkat masyarakat sangat dinamis. Mereka bisa memiliki preferensi terhadap kandidat tertentu dan preferensi ini bisa berubah dalam hitungan pekan bahkan hari dengan adanya pergerakan tertentu dari kandidat atau tim pemenangan. Perubahan ini kurang dikomunikasikan dengan masyarakat yang menganggap bahwa hasil survei konsisten dan tidak berubah dalam waktu lama. Ketika terjadi perubahan yang kemudian dilaporkan oleh lembaga survei lain pada waktu yang berbeda, masyarakat bisa mempertanyakan “mengapa sangat beda?” sementara perbedaan tersebut sangat wajar mengingat waktu pelaksanaan survei yang berbeda.
Keempat, kurangnya pemahaman masyarakat terhadap metodologi survei politik. Masyarakat seringkali hanya melihat urutan persentase ketika melihat hasil survei dan itupun dalam grafik sederhana. Tentu saja grafik membantu, namun banyak hal lain yang perlu dipertanyakan ketika membandingkan dua atau lebih hasil survei.
Di antaranya, waktu pelaksanaan, margin of error, confidence level, jumlah sample, dan representasi sampel. Sebagai contoh, jika terdapat urutan kandidat dengan hanya selisi 2% sampai dengan 5% maka urutan tersebut belum tentu konsisten seperti itu di tingkat populasi mengingat adanya margin of error dan confidence level yang dipertimbangkan.