Tuturan id – Rancangan (RUU) Kesehatan yang direncanakan akan disahkan menjadi undang-undang pada pekan ini menuai banyak protes.

Dua fraksi Komisi IX DPR, yaitu Demokrat dan Keadilan Sejahtera (PKS), telah menolak pengesahan RUU tersebut.

Beberapa alasan penolakan yang disampaikan antara lain terkait proses pembahasan yang terburu-buru, kehilangan pengeluaran wajib, dan pengembalian wewenang kepada pusat.

Penolakan tersebut membuat pengesahan RUU Kesehatan tertunda. Pada tanggal 20 Juni 2023, RUU tersebut tidak dibahas dalam sidang pleno Dewan Perwakilan (DPR). Hingga saat ini, belum ada pengumuman resmi mengenai tanggal baru untuk pengesahan RUU Kesehatan.

Penolakan terhadap RUU Kesehatan telah memicu debat di kalangan Indonesia. Sebagian berpendapat bahwa RUU tersebut penting untuk meningkatkan sistem kesehatan negara, sementara yang lain mengkhawatirkan adanya konsekuensi negatif terhadap kesehatan .

menyatakan komitmennya untuk bekerja sama dengan DPR guna menangani keprihatinan dari dua fraksi yang menolak RUU Kesehatan tersebut. juga menyampaikan keyakinannya bahwa RUU tersebut akan akhirnya disahkan.

Namun, beberapa pihak masih meragukan pengesahan RUU Kesehatan ini. Hasil dari debat yang sedang berlangsung akan memiliki dampak signifikan terhadap sistem kesehatan negara.

“Untuk RUU Kesehatan pada pekan lalu sudah dilakukan rapim (rapat pimpinan) dan dibamuskan akan dipertimbangkan untuk dibawa ke rapat paripurna terdekat. Paripurna terdekat ini akan ditentukan tanggalnya kemungkinan setelah rapim dan bamus lagi,” ungkap Wakil Ketua DPR, Sufmi Dasco Ahmad.

Salah satu masalah yang mencuat terkait RUU Kesehatan adalah kurangnya transparansi dalam penyusunan naskah dan draf RUU tersebut.

Publik tidak dapat mengakses secara lengkap poin-poin yang diubah dalam rapat kerja Komisi IX pada 19 Juni 2023. Beberapa pihak meminta agar naskah RUU Kesehatan dapat dibuka untuk umum setelah disahkan.

Selain itu, Forum Guru Besar Lintas Profesi (FGBLP) juga turut menyampaikan protes terhadap RUU Kesehatan ini. Mereka mengirimkan petisi penolakan kepada Presiden Joko Widodo dan Ketua DPR, Puan Maharani.

FGBLP menyatakan bahwa ada beberapa isu serius yang perlu dipertimbangkan lebih lanjut dalam RUU Kesehatan ini.

Salah satu poin krusial yang menjadi perhatian adalah penghapusan kewajiban alokasi belanja minimal (mandatory spending) untuk kesehatan dalam anggaran negara dan anggaran daerah. Hal ini berpotensi menghambat akses terhadap fasilitas kesehatan yang baik.****