, Jakarta – Warga Indonesia saat ini telah memasuki tahun politik, halbitu terlihat dengan telah berjalannya sejumlah tahapan penyelenggaraan Pemilu 2024 oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU).

Setiap warga berhak memberikan hak suaranya dalam kontestasi politik yang akan datang, namun terkhusus beberapa kalangan diharap untuk bisa netral dalam suatu penyelenggaraan pemilu misalnya TNI-POLRI, dan Aparatur Sipil Negara (ASN).

Menanggapi hal itu, Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) Agus Pramusinto meminta seluruh ASN untuk dapat menempatkan diri  dalam posisi netral.

“Jika tidak, akan memengaruhi pelayanan publik ke depannya. Hal itu salah satu tantangan yang dihadapi , di mana kita masih kerap berpotensi terpecah karena politik,” kata Agus dalam diskusi kelompok terfokus () bertema “: Dinamika dan Tantangan yang Dihadapi?” yang digelar Moya Institute di Jakarta, Kamis (25/05/2023)

Sementara itu menurut data Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), lanjut Agus, dalam rentang waktu 2020-2021, di mana saat itu digelar pemilihan kepala daerah (pilkada) di 270 daerah, pelanggaran ASN mencapai angka 2.034. Dari jumlah pelanggaran itu, 1.373 ASN di antaranya diberi sanksi oleh pejabat pembina kepegawaian (PPK).

“Kita sudah memasuki tahun politik dan puncaknya tahun depan, itu ada 548 pilkada dan pileg, serta pilpres. Potensi kegaduhan akan berlipat ganda. Sekarang, jika diikuti media sosial, istilah cebong, kadrun itu masih ada; dan jika terus berlanjut, itu membahayakan,” kata Agus dilansir antaranews.com.

Hal senada juga disampaikan oleh Anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) Sidarto Danusubroto, yang juga menjadi pembicara kunci dalam FGD tersebut, menurutnya bahwa intoleransi, radikalisme, dan terorisme adalah virus yang merupakan ancaman untuk keutuhan bangsa.

Sidarto menggunakan istilah “vaksinasi ideologi” sebagai sebuah upaya menjaga keutuhan NKRI.

“Karena adalah warisan Bung Karno sebagai founding father, yang selama ini terbukti bisa mempersatukan kebinekaan,” kata Sidarto.

Apabila Indonesia diibaratkan sebagai suatu rumah, lanjutnya, maka fondasi dasar “rumah” Indonesia itu adalah , dengan Undang-Undang Dasar Negara RI 1945 sebagai tiang, NKRI sebagai dinding dan atap, serta Bhinneka Tunggal Ika sebagai penghuni.

“Ini empat pilar, sejak saya MPR terus digalakkan. Jadi, penghuninya itu berbagai suku, agama, budaya, dan adat istiadat harus diwadahi bersama dalam rumah Pancasila ini,” katanya.

Pemerhati isu strategis dan global Imron Cotan berpendapat Pancasila sudah diuji oleh berbagai benturan ideologi, seperti ekstrem kiri dan ekstrem kanan, bahkan ideologi liberalisme.****