Oleh : Muh. |

(ARCHY Research & Strategy – Ph.D Candidate Of Political Science Of Universiti Kebangsaan Malaysia 2024)

Donald Trump dalam Pilpres Amerika Serikat (AS) 2024 kembali menjadi sorotan dunia internasional, terutama dalam kaitannya dengan stabilitas dan keamanan global. 

Sebagai tokoh yang dikenal dengan kebijakan “America First,” kembalinya Trump ke Gedung Putih dipandang oleh banyak pihak sebagai kemungkinan untuk besar pada kebijakan luar negeri AS. 

Beberapa analis meyakini bahwa sikap Trump yang cenderung konfrontatif dan pragmatis bisa memperburuk ketegangan di kawasan Timur Tengah, khususnya terkait konflik Israel-Palestina dan hubungan AS- yang telah lama berada di titik kritis.

Selama masa jabatannya terdahulu (2017-2021), Trump memperlihatkan dukungan yang sangat kuat terhadap Israel, di antaranya dengan memindahkan Kedutaan Besar AS ke Yerusalem dan mendukung sejumlah kebijakan kontroversial Israel di wilayah Palestina. 

Langkah-langkah ini menciptakan dinamika baru di kawasan Timur Tengah yang saat ini menghadapi ketegangan yang meningkat akibat konflik Israel-Gaza. Dengan Trump kembali berkuasa, Israel bisa merasa didukung untuk bertindak lebih agresif di wilayah yang disengketakan, sementara negara-negara tetangga seperti , Suriah, dan Lebanon semakin tersudutkan dalam posisi mereka.

Selain itu, ketegangan yang melibatkan dapat semakin diperburuk. Dalam masa jabatannya yang lalu, Trump menarik AS dari perjanjian nuklir dan memberlakukan sanksi ketat terhadap negara tersebut. Jika pendekatan keras ini berlanjut, bukan tidak mungkin Iran akan semakin memperkuat kelompok-kelompok proksinya di Lebanon, Yaman, dan Gaza sebagai bentuk resistensi. 

Situasi ini berpotensi mengakibatkan eskalasi konflik, terutama di kawasan yang sudah rentan terhadap ketidakstabilan politik dan militer.

Salah satu dampak yang tidak bisa diabaikan adalah ketegangan yang muncul dalam upaya penyelesaian konflik Israel-Palestina. 

Kepemimpinan Biden yang lebih terbuka terhadap solusi dua negara memberikan harapan baru, namun kembalinya Trump berisiko menghambat pendekatan diplomatik ini. Trump yang cenderung mendukung posisi Israel dapat membuat negosiasi damai semakin sulit dicapai. 

Tanpa langkah-langkah konkret dan adil terhadap kedua belah pihak, ketidakpercayaan Palestina terhadap kebijakan AS akan semakin mendalam.

Selain itu, potensi ketegangan yang meningkat di Timur Tengah tentu memiliki dampak global, terutama pada sektor energi. 

Kawasan ini merupakan pusat penghasil minyak dan dunia, sehingga konflik berkepanjangan akan mengganggu rantai pasokan energi global. Jika harga energi meningkat akibat ketidakstabilan ini, negara-negara di luar kawasan, termasuk negara-negara berkembang, akan terkena dampaknya. Ekonomi global bisa terguncang, terutama di tengah situasi ekonomi yang belum pulih penuh dari .

Pada akhirnya, kebijakan luar negeri AS di bawah Trump membawa tantangan besar bagi stabilitas global. Timur Tengah yang rentan konflik mungkin akan memasuki fase baru yang semakin sulit diprediksi. Jika AS semakin memojokkan Iran dan memperkuat Israel tanpa upaya diplomatik yang seimbang, kemungkinan terjadi bentrokan langsung atau perang terbuka antara negara-negara di kawasan tersebut tidak bisa dikesampingkan. 

Dunia kini perlu mencermati arah kebijakan AS untuk memahami implikasi dari kembalinya Trump dalam percaturan politik global. Jika tidak diimbangi dengan pendekatan diplomasi yang matang, kepemimpinan Trump dapat menempatkan kawasan Timur Tengah dan stabilitas global dalam risiko yang lebih besar.****