Tuturan id – Media digital sangat berkembang di Indonesia dan Indonesia masuk salah satu pengguna sosial media terbesar di dunia. Jumlah pengguna media sosial yang aktif saat ini sebanyak 167 juta dengan pengguna internet lebih dari 212 juta.
Hal yang menarik dari data tersebut, jumlah perangkat yang terhubung internet melampaui jumlah populasi di Indonesia. Fakta ini menjadi hal menarik untuk siapa saja yang ingin membentuk brand partai atau figur politik di Indonesia.
Tidak sampai di situ, bahkan media sosial juga digunakan untuk membentuk “framing” tertentu, baik yang menguntungkan pihak sendiri maupun kubu lawan politik.
Freelon, Deen dan Well dalam tulisan mereka di jurnal Political Communication (2020) yang berjudul “Disinformation as Political Communication” mengungkapkan bahwa ada tiga elemen kunci untuk membentuk brand politik; identity, image, dan positioning.
Identitas adalah apa yang brand proyeksikan melalui positioning untuk menciptkan image tertentu. Penggunaan strategi branding dalam konteks politik ini harus betul-betul memikirkan pembentukan identitas yang tepat.
Identitas ini dibentuk dari strategi positioning yang sesuai dan menguntungkan, sehingga muncul image sesuai dengan harapan sehingga berdampak pada elektoral nantinya.
Howard PN, Woolley S, Calo R (2018) dalam tulisannya yang berjudul Algorithms, bots, and political communication in the US 2016 election: the challenge of automated political communication for election law and administration yang diterbitkan di Journal of Information Technology & Politics menyatakan bahwa telah banyak kandidat yang menggunakan media sosial untuk membentuk brand dan frame.
Namun, pertanyaan paling penting yakni bagaimana para kandidat menggunakan media sosial yang canggih tersebut untuk berkampaye? Apakah strategi yang diterapkan sudah efektif? Kedua pertanyaan ini memang sudah menjadi pertanyaan penting praktisi dan peneliti di bidang komunikasi politik.
Kemunculan media sosial untuk pembentukan brand tidak lantas mematikan kehadiran media cetak tradisional atau media digital lainnya seperti radio dan televisi.
Sejak tahun 2013, Chadwick dalam tulisannya yang berjudul The Hybrid Media System diterbitkan di Oxford: Oxford University Press mengungkapkan bahwa “old and new media interacting and merging into new structures and working routines,” yang berarti bahwa terjadi interaksi antara media lama dan baru, mereka menyatu menjadi sebuah struktur dan rutinitas kerja baru.****