Oleh : Muhammad Fitriady

Ph.D/Doctor Candidate Of Political Science Of Universiti Kebangsaan Malaysia

id, Jakarta – Perempuan dalam kepemimpinan politik terus berkembang, termasuk di negara-negara mayoritas Muslim. Meskipun sering dihadapkan pada hambatan budaya dan agama, perempuan telah membuktikan diri mampu memimpin dengan baik. Namun, pertanyaan yang sering muncul: apakah Islam benar-benar melarang perempuan menjadi pemimpin?.

Salah satu argumen yang sering digunakan untuk menolak kepemimpinan perempuan adalah hadis yang menyatakan, “Tidak akan sukses kaum yang menyerahkan urusan mereka kepada perempuan.” Hadis ini muncul dalam konteks tertentu, yaitu ketika seorang perempuan mengambil alih takhta di Persia di tengah krisis politik. 

Banyak ulama kontemporer menilai bahwa hadis ini tidak bisa dijadikan dalil mutlak untuk melarang perempuan memimpin dalam segala situasi.

Sebaliknya, Al-Qur'an mencatat kisah Ratu Balqis dalam Surat An-Naml (27:23-44). Sebagai pemimpin Saba, Balqis digambarkan sebagai penguasa yang bijaksana dan cerdas. 

Ketika Nabi Sulaiman mengirimkan surat kepadanya, ia merespons dengan bijak, meminta nasihat dari para penasihatnya sebelum membuat keputusan. Akhirnya, setelah berdialog dengan Nabi Sulaiman, ia memilih untuk beriman. Kisah ini menunjukkan bahwa Al-Qur'an tidak mengkritik kepemimpinan perempuan, tetapi justru mengakui kemampuan mereka dalam memimpin.

Selain itu, dalam Islam, kita mengenal Sayyidah Aisyah, istri Nabi Muhammad, yang berperan besar dalam bidang politik. Aisyah terlibat dalam Perang Jamal, yang meskipun kontroversial, menunjukkan peran aktif perempuan dalam kepemimpinan dan politik sejak awal Islam. Ini menegaskan bahwa perempuan dapat mengambil peran kepemimpinan dalam situasi tertentu.

Jika kita melihat ayat Al-Qur'an lainnya, seperti Surat An-Nisa (4:34), ayat ini sering digunakan untuk menyatakan laki-laki sebagai pemimpin perempuan dalam rumah tangga. Namun, banyak ulama menafsirkan bahwa ayat ini lebih berfokus pada tanggung jawab laki-laki dalam , bukan sebagai larangan bagi perempuan untuk memimpin di ranah publik atau politik. 

Dalam Al-Qur'an sendiri tidak ada larangan eksplisit yang melarang perempuan menjadi pemimpin politik, melainkan Islam menekankan prinsip keadilan dan tanggung jawab bagi siapa pun yang memimpin.

Di era modern, perempuan Muslim telah menduduki posisi politik strategis, seperti Benazir Bhutto, yang memimpin Pakistan meskipun menghadapi tantangan dari budaya patriarkal yang kuat. 

Keberhasilan perempuan-perempuan ini menunjukkan bahwa mereka mampu memimpin dan berperan penting dalam politik, serta memberikan perspektif yang lebih inklusif dalam

Selama perempuan tidak meninggalkan tanggung jawab utamanya sebagai istri atau ibu dalam rumah tangga, serta tidak melakukan larangan-larangan agama seperti korupsi, menipu masyarakat, dan perilaku negatif lainnya, maka mereka berhak untuk memimpin dengan baik.

Kehadiran perempuan dalam kepemimpinan politik membawa banyak . Mereka sering kali lebih peka terhadap isu-isu sosial seperti , pendidikan, dan hak asasi. Dengan perspektif yang berbeda dari laki-laki, kepemimpinan perempuan bisa menciptakan yang lebih inklusif dan adil. Ini bukan soal siapa yang lebih baik, tetapi soal keseimbangan dan keterwakilan yang lebih luas.

Kesimpulannya, dalil-dalil dalam Al-Qur'an dan hadis tidak secara tegas melarang perempuan untuk memimpin, baik dalam politik maupun kehidupan sosial. Tantangan yang dihadapi perempuan dalam kepemimpinan sering kali lebih dipengaruhi oleh budaya patriarki daripada ajaran agama itu sendiri. 

Oleh karena itu, saatnya membuka ruang yang lebih luas bagi perempuan untuk memimpin, karena mereka telah menunjukkan kapasitas untuk membawa perubahan positif dan mewujudkan masyarakat yang lebih adil dan inklusif.***