Oleh: Ariyanto Ardiansyah, S.IP.,M.Si (Akademisi)

Tuturan id, Jakarta – Pilkada (Pemilihan Kepala Daerah) sering menjadi arena interaksi antara politik dan agama di . Dalam konteks politik, agama dapat berperan sebagai kekuatan mobilisasi massa dan sumber legitimasi politik.

Namun, keterlibatan agama dalam politik juga menimbulkan tantangan, seperti polarisasi masyarakat dan potensi munculnya politik yang memperkeruh demokrasi.

Sebagai contoh, kandidat dengan dukungan agama atau organisasi keagamaan sering kali memperoleh kepercayaan lebih besar dari masyarakat. Agama juga sering digunakan untuk membangun citra kandidat sebagai sosok berintegritas dan bermoral.

Namun, keterlibatan agama dalam politik juga menimbulkan tantangan, seperti polarisasi masyarakat dan politik . Ketika agama dijadikan alat politik, ada potensi eksklusi terhadap kelompok minoritas dan munculnya segregasi sosial berdasarkan identitas.

Politik agama bisa mempersempit diskusi publik menjadi soal “siapa kita” daripada “apa yang bisa dilakukan,” sehingga mengaburkan perdebatan kebijakan dan mengganggu kualitas demokrasi.

Untuk memahami hubungan antara politik dan agama dalam pilkada, kita dapat merujuk pada beberapa pendekatan teori terkait.

Pendekatan teori :

  1. Teori Sekularisasi
    Teori ini menyatakan bahwa modernisasi akan memisahkan agama dari urusan publik dan politik. Namun, realitas di banyak negara, termasuk , menunjukkan bahwa agama tetap menjadi faktor penting dalam politik. Dalam pilkada, agama atau religius sering digunakan untuk mempengaruhi pemilih, terutama di wilayah dengan mayoritas agama tertentu.
  2. Teori Politik Identitas
    Pilkada sering kali memunculkan politik identitas, di mana kandidat atau partai politik menggunakan identitas agama untuk menarik dukungan. Politik identitas bisa memperkuat solidaritas di kalangan kelompok tertentu, tetapi juga berpotensi menguatkan eksklusivitas dan memperdalam fragmentasi sosial.
  3. Teori Mobilisasi Sosial
    Teori ini menjelaskan bahwa agama dapat menjadi alat mobilisasi sosial dalam situasi politik tertentu. Di , lembaga-lembaga keagamaan dan ulama sering memainkan peran penting dalam membangun dukungan massa bagi kandidat tertentu. Dalam kasus tertentu, mobilisasi berbasis agama bisa mempercepat kampanye kandidat, tapi juga rawan disertai dengan ujaran kebencian atau politisasi isu SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antar-golongan).
  4. Teori Legitimitas Weberian
    Menurut Max Weber, legitimasi kekuasaan dapat berasal dari , kharisma, atau hukum. Dalam pilkada, agama sering memberikan legitimasi kharismatik kepada calon yang dianggap memiliki nilai moral dan religius tinggi. Kandidat dengan dukungan agama atau organisasi keagamaan biasanya lebih mudah memperoleh kepercayaan publik.