Tuturan id, Jakarta – Perhelatan politik pada Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) di Indonesia tahun 2024 akan segera digelar. Sejumlah partai politik bahkan telah membuat koalisi dan memunculkan nama calon pemimpinnya untuk diusung sebagai ‘ideal’ bagi daerahnya masing-masing. 

Berbagai upaya dan strategipun sudah mulai dijalankan untuk meraih simpati publik demi memenangkan kekuasaan pada pertarungan panggung politik nantinya.

Belakangan ini ramai dibicarakan soal aturan baru Konstitusi (MK) terkait aturan pelaksanaan pilkada serentak 2024. Sebelumnya, Konstitusi melalui Putusan Nomor 60/PUU-XXII/2024 mengubah ambang batas (threshold) pencalonan calon kepala daerah dan calon wakil kepala daerah.

Lewat putusan ini, MK menyatakan partai politik yang tidak mendapatkan kursi di DPRD bisa mencalonkan pasangan calon. Penghitungan syarat untuk mengusulkan pasangan calon melalui partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu hanya didasarkan pada hasil perolehan suara sah dalam pemilu di daerah yang bersangkutan.

Dengan adanya aturan ini memungkinkan lebih banyak partai politik mengajukan calon sendiri di Pilkada Serentak 2024.

MK memutuskan syarat mengusung paslon di Pilkada tidak lagi menggunakan kursi di DPRD.

Menanggapi aturan MK ini, Direktur ARCHY Research and Muh. Fitriady memberikan beberapa tanggapan dan opini terkait kondisi perpolitikan secara umum yang terjadi saat ini.

Menurut politisi muda dan mantan legislator ini, terkait aturan baru MK memang menjadi angin bagi sebagian orang yang berkepentingan di pilkada 2024, tapi bagi sebagian yg lain malah jadi “momok berbahaya” bagi pasangan calon yang sudah mengantongi surat usungan partai. Yang awalnya bersiap menghadapi kotak kosong, dengan adanya aturan baru MK ini bisa menghadirkan calon lawan baru bagi mereka.

“Drama-drama dalam politik itu hal biasa. Semuanya serba dinamis, bisa berubah kapan saja. Kawan jadi lawan, lawan jadi kawan atau lawan tetap lawan selamanya,” ujar Fitriady melalui  tulisannya yang diterima redaksi tuturan.id, Rabu (21/8/2024).

“Termasuk “gonta-ganti” pasangan karena dinamika politik yang terjadi. Bahkan ada yang gagal maju karena menghadapi “turbulensi” luar biasa di internal partainya padahal sudah mempersiapkan diri jauh hari sebagai calon bupati,” imbuhnya.

Menurutnya Itulah politik, yang bagi sebagian orang belum tentu baik menurut mereka. Tergantung bagaimana para politisi merespon tiap perubahan yang terjadi di setiap momen politik.

Saran saya, rumus “EKSTRA” bisa dipakai oleh para politisi dan timnya ketika harus menghadapi turbulensi politik yang terjadi. 

EKSTRA sendiri merupakan singkatan dari Emosi, Komunikasi dan Strategi. Yang pertama tentu bagaimana mengontrol emosi agar tetap stabil, tidak terpancing dengan situasi apalagi isu-isu liar yang belum jelas. Tenang dalam kondisi apapun diperlukan agar bisa berpikir jernih menenetukan langkah selanjutnya.

Yang kedua adalah mengolah komunikasi. Emosi yang tenang pasti menghasilkan komunikasi yang baik. Berkomunikasilah ke beberapa pihak terkait perubahan-perubahan politik yang terjadi. Jangan tinggal diam, komunikasi ke beberapa orang tentu bisa menghasilkan ide-ide baru dalam menentukan keputusan selanjutnya.

Yang terakhir, adalah mengatur strategi. Yaitu mengatur langkah-langkah strategis selanjutnya agar tetap berada pada tujuan. Jangan baper apalagi marah merespon keadaan. Bisa jadi hanya memperburuk keadaan,” tulis Fitriady.

Berbagai isu hingga strategi yang terjadi dalam politik saat ini tak jarang yang menganggap sebagai sandiwara yang turut diperankan oleh para aktor elite politik, yang saat ini juga banyak disebut sebagai konsep .

Konsep dalam Politik saat ini 

Untuk memahami lebih jauh tentang hal ini, konsep milik sosiolog asal Kanada, Erving Goffman, dapat dipakai untuk mencermati citra atau presentasi diri yang dibangun oleh para aktor politik tersebut

Hal ini tentunya akan memberikan respons yang beragam. Di satu sisi publik mungkin akan dibuat bingung karena aktor-aktor politik tersebut akan secara terus-menerus menampilkan sisi positif mereka, namun di sisi lain ini juga bisa menjadi rujukan untuk menentukan pilihan politik dari citra diri yang mereka tampilkan. 

Untuk memahami hal ini, konsep milik sosiolog asal Kanada, Erving Goffman, dapat digunakan untuk mencermati citra atau presentasi diri yang dibangun oleh para aktor politik tersebut. 

Goffman dalam bukunya The Presentation of Everyday Life (1959) mendefinisikan dramaturgi sebagai sandiwara kehidupan yang mengharuskan manusia memainkan peran dengan menampilkan sisi depan (front stage) dan sisi belakang (backstage). 

Politik dramatugi sendiri adalah konsep yang menggabungkan elemen-elemen politik dan drama untuk mempengaruhi persepsi publik dan mencapai tujuan politik. 

Dalam konteks ini, aktor politik menggunakan strategi komunikasi yang dirancang secara hati-hati seperti panggung dalam teater, di mana mereka menampilkan citra, , dan tindakan yang bertujuan memengaruhi opini publik atau mendapatkan dukungan. 

Konsep ini sering dikaitkan dengan gagasan bahwa politik bukan hanya soal kebijakan, tetapi juga soal bagaimana kebijakan tersebut dikomunikasikan dan dipentaskan kepada khalayak.****