, Jakarta – Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) telah diputuskan. Siang tadi MK menyatakan menolak permohonan para pemohon dalam perkara terhadap Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu).

Keputusan tersebut mempertahankan sistem pemilu proporsional terbuka yang berlaku saat ini.
Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi, Anwar Usman, menyatakan penolakan terhadap permohonan para pemohon secara keseluruhan.

“Menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya,” kata Ketua MK Anwar Usman dalam sidang yang terbuka untuk umum di Gedung MK, Jalan Medan Merdeka Barat, Kamis (15/6/2023).

Sebagaimana diketahui, Uji Materi tentang Pemilu diajukan pada 14 November silam dengan nomor 114/PPU-XX/2022. Para pemohon dalam uji materi ini meliputi Demas Brian Wicaksono, Ibnu Rachman Jaya, Fahrurrozi, Yuwono Pintadi, Riyanto, dan Nono Marijono.

Salah satu gugatannya ialah mereka meminta agar hakim mengubah sistem pemilu dari proporsional terbuka menjadi tertutup.

Hakim Konstitusi, Saldi Isra, mengemukakan bahwa para pemohon berargumen bahwa sistem pemilihan umum dengan terbuka telah menyimpang dari peran partai politik. Namun, Mahkamah berpendapat bahwa argumen tersebut berlebihan, mengingat partai politik masih memiliki peran sentral dalam seleksi dan penentuan calon.

Saldi Isra juga menjelaskan bahwa partai politik memiliki peran sentral dalam memilih calon yang mampu mewakili kepentingan, ideologi, rencana, dan program kerja partai politik tersebut.

Dia juga menyoroti bahwa politik uang dapat terjadi dalam berbagai sistem pemilihan umum, termasuk sistem proporsional dengan tertutup.

Sementara Hakim lainnya MK Suharto menyatakan, MK lebih mendukung sistem proporsional terbuka karena lebih mendukung iklim demokrasi di Tanah Air. Hal ini berkebalikan kalau sistem proporsional tertutup yang diterapkan.

“UUD 1945 hasil perubahan pun tidak menentukan sistem pemilihan umum untuk memilih anggota DPR dan anggota DPRD. Dalam hal ini, misalnya, Pasal 19 ayat (1) UUD 1945 menyatakan anggota DPR dipilih melalui pemilihan umum,” ucap hakim MK Suhartoyo.

Mahkamah Konstitusi menegaskan bahwa argumen-argumen para pemohon, seperti distorsi peran partai politik, politik uang, tindak korupsi, dan keterwakilan , bukanlah akibat langsung dari sistem pemilihan umum tertentu.

Mahkamah mengatakan bahwa perbaikan dan penyempurnaan dalam pemilihan umum dapat dilakukan dalam berbagai aspek.

Delapan dari sembilan partai politik di DPR RI juga menyatakan penolakan terhadap sistem pemilu proporsional tertutup, sementara satu menginginkan sistem pemilu proporsional tertutup. ***